“Iya ibu, keputusanku ini sudah bulat. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Temanku juga sudah membantuku”, jawab Linda kepada ibunya di telepon.

“Apakah kau yakin? Pikirkanlah sekali lagi Linda, untuk apa beasiswamu itu?”, tanya ibunya. “Kau akan segera lulus, mengapa kau ingin pindah dan meninggalkan beasiswamu itu?”

“Tenang ibu, aku sudah menghubungi pihak kampus. Aku tetap mendapatkan beasiswaku.” Linda tersenyum mendengarkan ibunya.” Kebetulan, kampusku dan Melbourne School of Design memiliki kerja sama sehingga aku masih bisa melanjutkannya dengan beasiswa.”

Ibunya menghela napas. “Oh, benarkah? Kau membuatku terkejut! Itu adalah berita yang bagus untuk didengar!”

“Iya ibu, jangan terlalu khawatir. I can take care of myself well”, jawab Linda sambil membereskan meja belajarnya. Ia sudah mulai membereskan barang-barang yang tidak terlalu dipakainya lagi. “Ya, ya baiklah, aku percaya padamu. Namun, seorang ibu tentu akan tetap khawatir dengan anaknya.”

“Oh ya, bagaimana dengan kabarmu dan John?”

Linda terdiam. Ia menghentikan apa yang ia lakukan.

“Sudah lama kau tidak membicarakannya lagi dengan ibumu ini.”

Linda ingin sekali memberi tahu ibunya tetapi ia belum siap pada saat itu. Sudah ia putuskan bahwa ia tidak ingin bersedih lagi. Tetapi, rasa sedih itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia menarik nafas dalam-dalam.

“Kami sudah tidak bersama lagi, ibu.”

“Oh, jangan bercanda Linda. Kalian selalu bersama.” Perkataan Linda dianggap sebagai sebuah lelucon. “Tidak ibu, aku mengatakan yang sebenarnya.” Linda menahan air mata untuk kesekian kalinya. Bercerita dengan ibunya tentu akan membuatnya sedih lagi.

“Baiklah, ceritakan semuanya kepadaku.”

Linda mulai menceritakan semuanya dari awal. Ia mulai menangis lagi dan ibunya mendengarkan saja semua yang ia ceritakan. Selain itu, Linda juga menceritakan lagi masa-masa menyenangkan bersama John dan kembali tersenyum. Ia merasa lega setelah menceritakannya kepada ibunya. Jawaban yang diberikan ibunya memberikan ketenangan. Ia mengingatkan Linda untuk tetap kuat dan jangan terlalu lama terlarut dengan kesedihan itu.

“Terima kasih ibu, aku sangat merindukanmu.”

“Aku dan ayahmu juga merindukanmu, pulanglah musim semi nanti.”

“Baiklah ibu, aku akan beres-beres dulu. Nanti aku hubungi lagi.”

“Baiklah, goodnight.”

“Goodnight too.”  Linda menutup teleponnya.

Ia melihat sekeliling kamarnya. Hanya beberapa barang lagi yang tersisa. Ia duduk di tempat tidurnya. Tak terasa, apartemen mungil itu memiliki banyak kenangan juga. Ia akan merindukan apartemennya itu.

“Ring.. ring..”

Linda mencari ponselnya. Sebuah pesan dari pria itu. Ya, John Bolton, orang yang paling tidak ingin ia ingat. Namun, ia memutuskan untuk membuka pesan itu.

Apa kabarmu? Aku ingin bertemu.”

“Lelucon macam apa lagi ini?” Linda merasa bingung dan kesal. “Tidak, tidak. Aku tidak akan bertemu dengannya lagi.” Linda menghapus pesan itu lalu ia berbaring untuk tidur.

 

***

 

Semua persiapan sudah selesai. Tiket tujuan Melbourne sudah berada di tangannya dan barang-barangnya sudah ia kirim ke apartemen barunya di Melbourne. Linda juga sudah menghubungi dan memberikan kunci apartemennya kepada pembeli apartemennya.

Malam sebelumnya, ia diberikan kejutan farewell party dari sahabat-sahabatnya. Linda bahagia dan sedih juga untuk berpisah dengan sahabat-sahabatnya. Namun, mau tidak mau, ia harus pergi.

“Aku hanya meminta kalian untuk tidak memberitahukan hal ini kepada John. Biarlah ia melupakanku karena kami tidak saling menghubungi lagi. Mengerti?” Salah satu sahabatnya, May, memeluknya dan berkata, “Baiklah, kami akan melakukannya.”

Linda menaiki taksi dan pergi menuju bandara. “Aku sudah dalam perjalanan menuju bandara ibu. Aku akan menghubungimu lagi.” Linda tersenyum. “Baiklah, hati-hati dalam perjalananmu. Jangan lupa makan siang.” Linda tertawa. “Baiklah ibuku yang sangat baik.” Lalu, ia menutup teleponnya.

Tak dirasa, sudah cukup lama ia tinggal di London dengan banyak kenangan. Sekarang, ia akan pergi meninggalkan negara yang sudah menjadi rumah kedua baginya. Ia menikmati pemandangan kota London selama perjalanan menuju bandara.

Di saat yang hampir bersamaan, John mendatangi apartemen Linda.

“Ding dong”

Pintu apartemen dibuka oleh seorang pria.

“Ya, anda ingin mencari siapa?”

Sorry, tapi bukankah ini rumah Linda Lee?”

“Oh, Linda Lee menjual apartemen ini kepada kami. Sekarang kami yang tinggal disini.”

John terdiam sesaat. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Setelah sekian lama tidak datang ke kampus, sekarang ia menjual apartemennya. Apa yang sebenarnya Linda pikirkan?

“Maaf sebelumnya, apakah anda temannya?”, tanya pemilik apartemen yang baru.

“Oh ya, saya temannya. Apakah bapak tahu dimana dia sekarang?”

“Belum lama tadi, setelah memberikan kunci apartemen kepada kami, ia naik taksi menuju bandara.”

“Bandara?” John terkejut.

“Ya betul, belum lama tadi ia pergi.”

“Baiklah, terima kasih pak.” John bergegas menuju mobilnya dan pergi menuju bandara.

Apa yang kau rencanakan Linda Lee?”

Banyak pertanyaan terlintas di pikiran John.

Ring… ring.. ring..

Tom, teman kampusnya menelepon.

“Halo? Ada apa Tom?”

“Ada kabar baru yang harus ku sampaikan”, jawab Tom.

“Katakanlah cepat, aku sedang terburu-buru.” Memang, saat itu John mengendarai mobilnya secepat mungkin.

“Baiklah, Linda Lee sudah resmi bukan mahasiswa kampus kita lagi. Ia keluar dari kampus kita.”

Kabar yang mengejutkan dan tidak ingin ia percaya.

“Hei, John. Apakah kau mendengarkanku?” John tidak berkata apa-apa dan mematikan telepon.

Apa yang ia inginkan? Ia sudah gila!”

John memukul stir mobilnya dan mengendarai mobilnya lebih cepat lagi.

Linda sudah sampai di bandara dan sudah siap masuk ke dalam. Namun, langkahnya dihentikan oleh genggaman tangan seseorang. Ia berbalik lalu melihat bahwa orang itu adalah John. Ia terkejut dan terdiam.

“APAKAH KAU SUDAH GILA?” John terdengar kesal dan suaranya cukup besar untuk menarik perhatian semua orang. Tetapi, bandara pada waktu itu sangat ramai sehingga suaranya tidak terdengar begitu besar.

“Lepaskan aku sekarang. Aku harus pergi”, jawab Linda sambil mencoba melepaskan genggaman John. “Lepaskan aku, John.” John menarik dan memeluknya. Linda berusaha melepaskan pelukan itu tetapi John tetap memeluknya erat.

“Jangan pergi, aku mohon”, John terdengar sangat sedih. Ya, ia tidak menyangka Linda akan mengambil keputusan seperti ini. Ia tidak ingin kehilangan Linda.

“Tidak, aku harus pergi.”

John melepaskan pelukannya. “Mengapa?”

This is the best way for both of us. Aku akan memulai hidup yang baru, begitu juga dengan kau John”, Linda tersenyum memandangi John. John terdiam dan menunduk. Ia hanya bisa menyesal dengan keputusannya dulu. Linda memegang dan mengangkat wajahnya sehingga kedua mata mereka bertemu.

“Dengarkan aku. Jangan menyalahkan dirimu. Biarlah apa yang sudah terjadi berlalu. Untuk apa kau sesali sekarang? Hiduplah dengan baik dan jaga dirimu. Kita akan segera lulus. Kejarlah cita-citamu itu dan buatlah orang tuamu bangga. Aku percaya kau bisa melakukannya, benar bukan?”

John memandangi Linda.

Linda Lee, seorang wanita yang berarti baginya sekarang akan pergi untuk meninggalkannya. Entah untuk selamanya atau sementara, yang ia tau sekarang hanya Linda akan meninggalkannya. Tetapi, setelah apa yang terjadi, apa yang bisa ia lakukan? Linda sudah memutuskan apa yang akan ia lakukan. Ia hanya bisa menerima keadaan yang ada.

John melepaskan genggamannya.

Thank you, take care John.”

Linda memeluk John lalu berjalan menuju ruang tunggu. Air mata yang ditahan oleh Linda akhirnya memenuhi wajahnya. Ia sudah siap untuk meninggalkan London dan semua kenangan yang ada.

John kembali ke mobilnya. Ia termenung dan tanpa ia sadari wajahnya sudah dibasahi oleh air mata. Perpisahan yang tidak pernah ia harapkan terjadi. Ia menyalahkan mesin mobilnya dan pergi meninggalkan bandara.

 

5 tahun kemudian

“Iya ibu, kami baru saja sampai di London. Nanti akan ku hubungi lagi ketika sampai di hotel. Bye”, Linda mengakhiri telepon dengan ibunya. “Sepertinya ibumu terlalu khawatir ya?”, tanya Ron. “Yeah, you’re right.” Linda tertawa kecil. “Ayo, aku lelah sekali dan ingin segera tidur di hotel.” Ron tersenyum dan merangkul Linda. “Okay, come on.”

Ron Smith, pria yang Linda temui di Australia. Seorang pria yang menyembuhkan rasa sedih yang sudah lama ia rasakan. Mereka berdua akhirnya membuat project design bersama dan akhirnya diundang untuk datang di pameran design di London. Linda tidak menyangka akan datang lagi ke London. Ia sudah menghubungi sahabat-sahabatnya dan mereka akan reuni bersama.

“Kau sudah sampai Linda?”, tanya May.

“Sudah, belum lama kami landing”, jawab Linda.

“Wah! Aku tidak sabar untuk bertemu denganmu dan juga calon suamimu itu!” May menjawab dengan semangat.

“Ya, ya, akan ku pastikan kalian terpesona dengannya!” Linda tersenyum melihat Ron.

“Ada apa?”, tanya Ron sedikit berbisik.

Nothing dear”,  jawab Linda sambil tertawa kecil.

“Ya, aku akan percaya saja dengan apa katamu.”

Linda tertawa mendengar jawaban Ron.

“Baiklah, aku akan menghubungimu lagi nanti, bye May.” Ia menutup teleponnya.

Akhirnya, mereka berdua berjalan menuju pintu keluar.

Dalam perjalanan itu, dari kejauhan, mata Linda bertemu dengan mata seseorang yang tidak asing baginya. Kedua mata yang masih sama, dengan tatapan yang hangat. Langkah mereka tidak berhenti dan mereka hanya berpapasan. Linda tersenyum kepadanya dan ia juga tersenyum kepada Linda, lalu mereka melanjutkan perjalanan mereka masing-masing.

“Kau mengenalnya Linda?”, tanya Ron.

“Iya, aku mengenalnya.”, jawab Linda menatap Ron.

“Siapakah dia?”, tanya Ron lagi.

“Teman lamaku”, jawab Linda.

“Siapa namanya?”

Linda tersenyum.

“John Bolton.”

 

-The End-

 

6 thoughts on “Short-Stories: Erase- Part 5 ‘Good-bye’

Leave a comment